Tim
peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas)
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI melakukan penelitian situs
purbakala yang ditemukan di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan
Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Di
tempat ini ditemukan 4 fosil manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan
panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter. Selain itu juga
ditemukan lukisan pada dinding gua yang selama ini belum pernah
ditemukan pada berbagai penelitian gua di seluruh Indonesia. Temuan lain
di tempat ini berupa peralatan rumah tangga yang terbuat dari batu. Tim
peneliti dipimpin Prof DR Truman Simanjuntak dengan anggota 10 orang
tersebut memulai penelitian secara intensif sejak tanggal 14 hingga 28
Febrauri 2009. Foto ini dirilis pada jumpa pers di Pendopo Kabupaten
OKU, Rabu (4/3/2010) malam.
KOMPAS.com —
Daun dan semak di sepanjang jalan setapak menuju perbukitan karst itu
masih basah oleh embun pagi. Kokok ayam dari kampung terdekat terdengar
kian sayup. Di pertigaan jalan setapak yang licin itu, ketika jalan
mulai menanjak, dua anggota rombongan memutuskan berpisah.
Pindi
dan Fadhlan sudah ditunggu penunjuk jalan yang akan membawa mereka ke
satu ceruk gua di bukit sebelah timur. Dua hari sebelumnya diperoleh
dari seorang penduduk penjaga sarang walet tentang keberadaan beberapa
gua yang diduga menyimpan jejak hunian manusia, jauh di masa lampau.
"Tengah
hari nanti kami akan menyusul ke Gua Harimau," kata Pindi Setiawan,
ahli komunikasi visual dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut
Teknologi Bandung (FSRD ITB), yang juga ahli lukisan gua prasejarah.
Fadhlan
S Intan, geolog yang bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan
Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas), hanya berpesan kepada Nurhadi
Rangkuti—Kepala Balai Arkeologi Palembang yang baru bergabung dengan tim
sehari sebelumnya—agar berhati-hati menapaki jalan licin menuju Gua
Harimau. "Licin, terjal, dan banyak pacet," kata Fadhlan setengah
berteriak, sebelum ’menghilang’ di tikungan jalan menanjak yang bersemak
perdu.
Temuan istimewa
Gua
Harimau, itulah nama yang diberikan penduduk di sana. Gua Harimau, itu
pula nama resmi yang sejak tiga tahun lalu masuk dalam peta penelitian
arkeologi prasejarah Indonesia. Masyarakat setempat dan kalangan ilmuwan
memang menggunakan kata "gua" (juga dalam pelafalannya, seperti juga
tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) dan bukan "goa" (istilah
yang sebetulnya tidak dikenal dalam bahasa Indonesia baku sehingga
seharusnya dihindari, tetapi masih kerap dipakai) untuk menyebut liang
atau lubang besar di kaki perbukitan.
Disebut
Gua Harimau, konon—menurut para penduduk setempat—gua ini pernah
menjadi tempat harimau berdiam. Lokasi gua cukup tersembunyi di lereng
perbukitan karst, tertutup pepohonan tinggi dan penuh semak belukar di
jalan setapak yang terjal menutup lereng bukit. Di bawahnya, sungai
kecil (penduduk menyebutnya Aek Kaman Basah) mengalir dan bermuara ke
Sungai Ogan.
Gua
Harimau hanyalah satu di antara puluhan gua di daerah ini yang
diindikasikan sebagai lokasi hunian manusia prasejarah. Namun, bagi para
ahli arkeologi, Gua Harimau jadi istimewa karena—dari hasil ekskavasi
sementara—selain ditemukan belasan rangka manusia purba, juga terdapat
lukisan prasejarah.
Terkait keberadaan lukisan gua (art rock)
itu, Truman Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang
Arkenas, bahkan menyebutnya sebagai temuan yang sangat spektakuler.
Anggapan disampaikan karena selama ini ada semacam keyakinan di kalangan
arkeolog bahwa di bagian barat Indonesia (baca: Jawa dan Sumatera)
tidak tersentuh budaya lukisan gua. Anggapan itu didasarkan pada hasil
penelitian sejak puluhan tahun lalu dan mereka hanya menemukan lukisan
gua di wilayah Indonesia bagian timur.
"Akan
tetapi, penemuan ini telah membalikkan anggapan tersebut, bahkan
mengubah pandangan lama terkait zona sebaran lukisan gua di Asia
Tenggara," kata Truman Simanjuntak.
Sebelumnya,
dari sekitar 20 gua di kawasan ini yang telah dieksplorasi oleh tim
Puslitbang Arkenas bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Perancis untuk
Pembangunan atau Institut de Recherche pour le Developpement (IRD) pada
awal tahun 2000-an, tidak satu pun yang menyimpan lukisan gua. Temuan
yang diperolah hanya jejak-jejak hunian manusia dari rentang 9.000-2.000
tahun lalu.
Baru
pada penelitian tahun 2009, arkeolog E Wahyu Saptomo yang bertindak
sebagai ketua tim secara tidak sengaja menemukan sejumlah guratan di
dinding dan langit-langit bagian timur laut Gua Harimau. Setelah diamati
lebih cermat, guratan-guratan merah kecokelatan yang tak begitu jelas
bentuknya itu tak lain adalah bagian dari apa yang dikenal sebagai
lukisan prasejarah.
Sementara
dari kegiatan ekskavasi di lantai gua, tim yang telah mengupas lapisan
tanah hingga kedalaman 90 sentimeter menemukan belasan rangka manusia.
Hasil identifikasi Harry Widianto, ahli paleoantropologi yang juga
adalah Kepala Balai Penelitian dan Pelestarian Situs Purbakala Sangiran,
menunjukkan bahwa manusia prasejarah yang terkubur di Gua Harimau
adalah ras Mongoloid.
Dua
jenis temuan (rangka manusia dan lukisan prasejarah) ini, berikut
artefak-artefak pendukungnya, dinilai sangat penting sebagai bahan dasar
untuk merekonstruksi sejarah peradaban prasejarah di kawasan ini pada
khususnya dan Sumatera pada umumnya.
Sang pendahulu
Berbeda dibandingkan dengan keberadaan manusia prasejarah di Pulau Jawa pada umumnya—sebutlah seperti Pithecanthropus erectus ataupun Homo soloensis dan Homo mojokertensissebagai bagian dari Homo erectus—yang
populasinya diperkirakan musnah pada kala Pleistosen, daur hidup ras
Mongoloid dari Gua Harimau justru terus berlanjut. Begitupun manusia ras
Mongolid prasejarah di wilayah Nusantara lainnya, yang masuk ke
Nusantara sejak 4.000 tahun lalu.
Ras
Mongoloid yang membawa budaya tutur Austronesia ini pada tahap evolusi
berikutnya membangun peradaban baru: meninggalkan gua dan mulai
mengembangkan tradisi bercocok tanam di perladangan. Tentu hal itu dalam
wujud yang paling sederhana, sembari tetap meneruskan tradisi para
pendahulunya sebagai manusia pemburu-peramu.
Sisa-sisa
gerabah di antara alat-alat serpih dari rijang dan obsidian, serta
batuan lain yang ditemukan dalam ekskavasi, menunjukkan bahwa mereka
sudah memiliki kemampuan memanfaatkan alam lingkungan sekitar untuk
kehidupan sehari-hari. Dikaitkan dengan temuan kubur-kubur yang
berorientasi timur-barat sebagai simbol siklus kehidupan, juga
keberadaan lukisan yang ditorehkan di dinding dan langit-langit gua,
menguatkan dugaan bahwa mereka sudah mengenal kehidupan yang lebih
kompleks daripada sekadar manusia pemburu-peramu.
Oleh
karena itu, baik Harry Widianto maupun Truman Simanjuntak sepakat bahwa
kehadiran mereka sekaligus menandai awal keberadaan nenek moyang bangsa
ini. Kelompok ras Mongoloid yang tiba di Sumatera pada 4.000-3.500
tahun lalu, setelah kedatangan migrasi pertama kelompok ras
Australomelanesid pada akhir Zaman Es sekitar 11.000 tahun lalu, inilah
yang menghadirkan budaya tutur Austronesia; cikal bakal nenek moyang
bangsa ini.
"Mereka
adalah leluhur bangsa Indonesia sekarang," kata Truman Simanjuntak.
"Saya percaya sisa-sisa (rangka) manusia dari Gua Harimau termasuk para
penghuni awal manusia di Sumatera," kata Harry Widianto.
Kenyataan
ini seharusnya makin menumbuhkan kesadaran ke-"bhinekatunggalika"-an
kita sebagai bangsa. Dalam persebarannya di Nusantara, tiap kelompok
beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda sehingga lambat laun
melahirkan keragaman fisik dan budaya. Selanjutnya terjadi apa yang
kemudian kini dikenal sebagai masyarakat yang plural dan multikultur.
"Inilah
hakikat penting belajar prasejarah, yakni untuk memahami latar belakang
keberadaan kita pada masa sekarang serta memberi arah dan nilai pada
kehidupan masa depan," ujar Truman Simanjuntak.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !