Ini
adalah Makalah Prof. Wertheim yang diterbitkan sebagai suplemen pada
majalah ARAH, No. 1 tahun 1990. Makalah Prof. Wertheim ini pernah
disampaikan dalam sebuah ceramah pada tanggal 23September 1990 di
Amsterdam. berikut artikelnya:
Para hadirin yang terhormat!
Saya minta ijin untuk, sebelum mencoba memberi analisa tentang peristiwa
1965, lebih dahulu menceritakan bagaimana terjadinya bahwa saya,
walaupun mata pelajaran saya sosiologi, lama kelamaan mulai merasa diri
sebagai pembaca suatu detective story yang cari pemecahan suatu
teka-teki.
Dalam tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai guru besar
tamu di Bogor. Saya pernah bertemu dengan ketua PKI Aidit dan beberapa
tokoh lain dalam pimpinan partai. Aidit menceritakan tentang
kunjungannya ke RRC, baru itu; dari orang lain saya dengar bahwa Mao
Zedong bertanya pada Aidit: "Kapan kamu akan mundur ke daerah pedesaan?"
Ucapan itu saya masih ingat waktu dalam tahun 1964 saya terima
kunjungan di Amsterdam dari tokoh terkemuka lain dari PKI, Nyoto, yang
pada waktu itu ada di Eropa untuk menghadiri suatu konperensi di
Helsinki. Saya engingatkannya bahwa keadaan di Indonesia pada saat itu
mirip sekadarnya kepada keadaan di Tiongkok dalam tahun 1927, sebelum
kup Ciang Kaisyek. Pendapat saya ialah bahwa ada bahaya besar bahwa
militer di Indonesia juga akan merebut kekuasaan. Saya anjurkan dengan
kera s supaya golongan kiri di Indonesia mempersiapkan diri untuk
perlawanan dibawah tanah, dan mundur ke udik. Jawaban Nyoto ialah bahwa
saat bagi militer untuk dapat rebut kekuasaan sudah terlambat. PKI telah
terlalu kuat baik dalam badan perwira maupun dalam badan bawahan
tentara dan angkatan militer yang lain.
Saya
tidak berhasil meyakinkan Njoto. Pagi 1 Oktober '65 kami dengar siaran
melalui radio tentang formasi Dewan Revolusi di Jakarta. Sahabat saya,
Prof. De Haas menelpon saya dan menyatakan: "Itu tentu revolusi kiri!"
Saya menjawab: "Awas, menurut saya lebih masuk akal: provokasi!". Pada
tanggal 12 Oktober kami dengar bahwa Jendral Soeharto, yang belum kenal
kami namanya, telah berhasil tangkap kekuasaan. De Haas telepon saya
lagi, dan mengatakan: "Saya takut mungkin kemarin Anda benar!"
Seminggu sesudahnya saya terima kunjungan dari kepala sementara kedutaan
RRC di Den Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai ahli politik tentang
Indonesia, dan ia hendak mengetahui: "Apa yang sebenarnya situasi
politik di Indonesia sekarang?" Jawaban saya ialah: "Tentu Anda sebagai
orang Tionghoa dapat mengerti keadaan! Sangat mirip kepada yang terjadi
di Tiongkok dalam tahun 1927 waktu Ciang Kaisyek mulai kup kanan dengan
tentaranya, dan komunis kalah, di Syanghai, dan lantar di Hankau (Wuhan)
dan di Canton (Guangzhou)". Ia tidak mau setuju. Di bulan Januari tahun
1966 saya terima dari beberapa rekan yang saya kenal, yang mengajar di
Cornell Univesity di A.S., suatu 'Laporan Sementara' tentang peristiwa
September-Oktober di Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah
peristiwa itu benar suatu kup komunis, seperti dikatakan oleh penguasa
di Indonesia dan oleh dunia Barat.
Yang terima laporan itu, boleh memakai bahannya (begitu mereka tulis
kepada saya), tetapi untuk sementara tanpa menyebut sumbernya, oleh
karena mereka masih mencari bahan tambahan, dan meminta reaksi dan
informasi lagi. Dengan mempergunakan bahan dari laporan Cornell itu,
saya menulis suatu karangan yang dimuat dalam mingguan Belanda "De
Groene Amsterdammer" pada tanggal 19 Februari 1966, dengan judul
"Indonesia berhaluan kanan" Dalam karangan itu saya tanya: mengapa di
dunia Barat sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di
Indonesia, kalau dibanding dengan tragedi lain di dunia, yang kadang-
kadang jauh lebih enteng daripada yang terjadi di Indonesia baru-baru
ini? Barangkali alasannya bahwa pandangan umum seolah-olah golongan kiri
sendirilah yang bersalah, apakah bukan mereka sendiri yang
mengorganisir ku p 30 September dan yang bersalah dalam pembunuhan 6
jendral itu?
Maka dalam karangan itu saya mencoba memberi rekonstruksi peristiwa-
peristiwa dan menarik kesimpulan bahwa sedikit sekali bukti tentang
golongan PKI bersalah dalam peristiwa itu. Saya juga tambah bahwa cara
perbuatan dengan menculik dan membunuhi jenderal tidak mungkin berguna
untuk PKI - jadi salah mereka tidak masuk akal. Lagi hampir tidak ada
persiapan dari golongan kiri untuk menghadapi situasi yang akan muncul
sesudah kup. Dalam karangan itu saya juga menyebut kemiripan kepada
peristiwa di Shanghai dalam tahun 1927, yang juga sebenarnya ada kup
dari golongan reaksioner. Kesimpulan saya dalam karangan di "Groene
Amsterdammer" itu: "Terminologi resmi di Indonesia masih adalah kiri,
akan tetapi jurusannya adalah kanan". Kemudian, dalam bulan Februari
tahun '67, Mingguan Perancis "Le Monde" mengumumkan wawancara dengan
saya.
Dalam wawancara saya bertanya: "Mengapa Pono dan Sjam, yang rupanya
tokoh penting dalam peristiwa 65 itu, tidak diadili? Dikatakan dalam
proses yang telah diadakan, misalnya proses terhadap Obrus Untung, bahwa
mereka itu orang komunis yang terkemuka.
Apa yang terjadi dengan mereka itu, khususnya dengan Sjam, yang agaknya
seorang provokatir, yang pakai nama palsu?" Mencolok mata bahwa beberapa
minggu sesudah wawancaranya itu ada berita dari Indonesia bahwa Sjam,
yang namanya sebenarnya Kamaruzzaman, ditangkap. Saya dengar kabar itu
di radio Belanda, pagi jam 7. Dikatakan bahwa Sjam itu sebagai seorang
Double agent! Saya ingin dengar lagi siaran jam 8 diulangi bahwa Sjam
ditangkap, tetapi kali ini TIDAK ditambah bahwa ia double agent! Rupanya
dari kedutaan Indonesia ada pesan supaya istilah itu jangan dipakai!
Tetapi saya dapat Sinar Harapan dari 13 Maret '67, dan di sana ada
cerita tentang cara Sjam itu ditangkap. Dan judul berita itu: "Apakah
Sjam double agent?"
Tetapi sesudahnya di pers Indonesia istilah double agent itu tidak
pernah diulangi lagi. Dalam semua proses di mana Sjam muncul sebagai
saksi atau terdakwa, Sjam selamanya dilukiskan sebagai seorang komunis
yang sejati, yang dekat sekali dengan ketua Aidit. Ia selalu MENGAKU
bahwa dia yang memberi semua perintah dalam peristiwa 1 Oktober, tetapi
ia selalu tambah bahwa yang sebenanrya memberi perintah itu Aidit yang
juga ada pada hari itu di Halim, dan yang sebenarnya menurut Sjam dalang
dibelakang segala yang terjadi. Tentu Aidit tidak dapat membela diri
dan membantah segala bohong dari Sjam, oleh karena ia dibunuh dalam
bulan November 1965 tanpa suatu proses, ditembak mati oleh Kolonel Jasir
Hadibroto. Begitu juga pemimpin PKI lain, seperti Njoto dan Lukman,
tidak dapat membela diri di pengadilan.
Tentulah segala eksekusi tanpa proses itu membantu Orde Baru dalam
menyembunyikan kebenaran. Sudisman diadili, tetapi pembelaannya tidak
mendapat kemungkinan untuk mengajukan hal-hal yang melepaskan PKI dari
sejumlah tuduhan: ia dipaksa untuk mencoret bagian tentang hal itu dari
pleidoinya! Waktu Sjam kedapatan sebagai double agent yang sebagai
militer masuk kedalam PKI untuk mengintai, saya mulai menduga pula bahwa
Soeharto sendiri mungkin terlibat dalam permainan-munafik. Pada tanggal
8 April 1967 di mingguan "De Nieuwe Linie" dimuat lagi wawancara dengan
saya. Dalam wawancara ini saya telah menyebut kemungkinan bahwa "kup"
dari 1 Oktober 1965 adalah satu provokasi dari kalangan perwira; dan
waktu itu saya telah TAMBAH bahwa Soehartolah yang paling memanfaatkan
kejadian-kejadian. Saya mengatakan begitu: "Aneh sekali: kalau semua itu
akan terjadi di suatu cerita detektif, segala tanda akan menuju kepada
dia, Soeharto, paling sedikit sebagai orang yang sebelumnya telah punya
informasi. Misalnya setahun sebelum peristiwa 65, Soeharto turut
menghadiri pernikahan Obrus Untung yang diadakan di Kebumen. Untung
dahulu menjadi orang bawahan Soeharto di tentara. Lagi, dalam bulan
Agustus tahun 65, Soeharto juga bertemu dengan Jenderal Supardjo, di
Kalimantan. Dan mereka, Untung dan Supardjo, telah main peranan yang
utama dalam komplotan.
Aneh lagi, bahwa Soeharto tidak ditangkap dalam kup, dan malahan KOSTRAD
tidak diduduki dan dijaga pasukan yang memberontak, walaupun letaknya
di Medan Merdeka dimana banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua
militer mengetahui bahwa kalau Yani tidak di Jakarta atau sakit,
Soehartolah sebagai jenderal senior yang menggantikannya. Aneh juga
bahwa Soeharto bertindak secara sangat efisien untuk menginjak
pemberontakan, sedangkan grup Untung dan kawannya semua bingung."
Wawancara itu saya akhiri dengan mengatakan: "Tetapi sejarahpun lebih
ruwet dan sukar daripada detective-story" .
Begitulah pendapat saya di tahun 1967. Tetapi dalam tahun 1970 terbit
buku Arnold Brackman, jurnalis A.S. yang sangat reaksioner; judulnya
"The Communist Collapse in Indonesia". Di halaman 100 Brackman
menceritakan isi suatu wawancara dengan Soeharto, agaknya dalam tahun
1968 atau 1969, tentang suatu pertemuan Soeharto dengan Kolonel Latief,
tokoh yang ketiga dari pimpinan kup tahun 65. Isinya: "Dua hari sebelum
30 September anak lelaki kami, yang umurnya 3 tahun, dapat celaka di
rumah. Ia ketumpahan sup panas, dan kami dengan buru-buru perlu
mengantarkannya ke rumah sakit.
Banyak teman menjenguk anak saya di sana pada malam 30 September, dan
saya juga berada di rumah sakit. Lucu juga kalau diingat kembali. Saya
ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan
kesehatan anak saya. Saya terharu at as keprihatinannya. Ternyata
kemudian Latief adalah orang terkemuka dalam kejadian yang sesudahnya.
Kini menjadi jelas bagi saya malam itu Latief ke rumah sakit bukan untuk
menjenguk anak saya, melainkan sebenar-nya UNTUK MENCEK SAYA. Ia hendak
tahu betapa genting celaka anak saya dan ia dapat memastikan bahwa saya
akan terlampau prihatin dengan keadaan anak saya. Saya tetap di rumah
sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah".
Begitulah kutipan dari buku Brackman tentang wawancaranya dengan
Soeharto. Untuk saya pengakuan ini dari Soeharto, bahwa ia bertemu
dengan Kolonel Latief kira-kira empat jam sebelum aksi terhadap 7
jenderal mulai, sungguh merupakan 'rantai yang hilang' - the missing
link dalam detective story. Hal ini dengan jelas membuktikan hubungan
Soeharto dengan tokoh utama dalam peristiwa tahun 1965.
Tentu Latief, yang pergi ke R.S. Gatot Subroto, yaitu Rumah Sakit
Militer, 3 atau 4 jam sebelum serangan terhadap rumah-rumah 7 jenderal
mulai, maksudnya untuk menceritakan pada Soeharto tentang rencana mereka
¡V tetapi sukar membuktikan itu selama Soeharto berkuasa, dan Latief
dalam situasi orang tahanan. Hanya satu hal yang kurang terang. Mengapa
Soeharto mencerita-kan pada Brackman tentang pertemuan ini? Agaknya ada
orang yang memperhatikan kedatangan Latief ke rumah sakit. Oleh karena
itu Soeharto merasa perlu memberi alasan kunjungan itu yang dalam
dipahami: Latief mau periksa apakah Soeharto begitu susah oleh karena
keadaan sehingga ia tak mungkin bertindak pada esok harinya! Pengakuan
Soeharto itu menjadi untuk saya kesempatan untuk mengumumkan karangan di
mingguan "Vrij Nederland" pada tanggal 29 Agustus 1970, dengan judul
"De schakel die ontbrak: Wat deed Soeharto in de nacht van de
staatsgreep? " (Rantai yang hilang: apa yang diperbuat Soeharto pada
malam kup?).
Dalam karangan itu saya menguraikan segala petunjuk bahwa Soeharto benar
terlibat di dalam peristiwa tahun 65. Karangan ini dimuat satu hari
sebelum Soeharto datang ke Belanda untuk kunjungan resmi - kunjungan
yang gagal sama sekali. Karangan yang serupa itu juga saya umumkan dalam
bahasa Inggris di dalam majalah ilmiah "Journal of Contemporary Asia"
tahun 1979, dengan judul: "Soeharto and the Untung Coup: The Missing
Link". Waktu saya mengumumkan dua karangan itu, saya belum mengetahui
bahwa dalam wawancara lain, sebelum bulan Agustus 1970 itu, Soeharto
sekali lagi menyebut pertemuannya dengan Kolonel Latief itu - tetapi
kali ini dengan nada yang sangat berlainan. Wawancara itu dimuat dalam
mingguan Jerman Barat, "Der Spiegel", tanggal 27 Juni, halaman 98.
Wartawan Jerman itu bertanya: "Mengapa tuan Soeharto tidak termasuk
daftar jenderal-jenderal yang harus dibunuh?" Jawaban Soeharto yaitu:
"Pada jam 11 malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu,
datang ke rumah sakit untuk membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia
tidak elaksanakan rencananya karena tidak berani melakukannya di tempat
umum."
Masa, heran seolah-olah Kolonel Latief ada rencana untuk membunuh
Soeharto, 4 jam sebelum aksi terhadap 7 jenderal yang lain akan dimulai,
yang tentu berakibat seluruh komplotan akan gagal! Kebohongan Soeharto
itu suatu bukti lagi bahwa Soeharto mau menyembunyikan apa-apa, dan cari
akal untuk luput dari persangkaan ia terlibat dalam kup! Sedangkan
tokoh lain dari komplotan, sebagai Obrus Untung, Jenderal Supardjo dan
Mayor Sudjono sudah lama terkena hukuman mati dan diekseskusi, Kolonel
Latief selama lebih dari 10 tahun tidak diadili.
Alasan yang disebut oleh pemerintah, yaitu bahwa ia 'sakit-sakitan' an
tidak dapat menghadiri sidang pengadilan. Benar bahwa ia kena luka berat
di kaki waktu tertangkap; tetapi kawannya di penjara mengatakan bahwa
ia sudah lama dapat menghadap di sidang sebagai saksi atau terdakwa.
Akhirnya, dalam tahun 1978 sidang dalam perkara Latief mulai. Dalam
eksepsinya dari tanggal 5 Mei, Latief telah memberi keterangan, bahwa ia
besama keluarganya berkunjung di rumah Soeharto dengan dihadiri Ibu
Tien, dua hari sebelum tanggal 30 September; ia juga menceritakan bahwa
ia mengunjungi Soeharto pada malam 30 September di Rumah Sakit Militer.
Ia menerangkan bahwa ia, Obrus Untung dan Jenderal Supardjo, yang baru
pulang dari Kalimantan, bertiga pimpinan militer dari aksi keesokan
harinya, berkumpul di rumahnya pada jam 8 untuk berunding.
Mereka memutuskan untuk malam itu juga menemui Soeharto,
untuk memperoleh dukungannya dalam rencana. Latief mengusulkan supaya
mereka akan bertiga menghadap Soeharto, tetapi Untung tidak berani, dan
mereka akhirnya mengutus Latief oleh karena ia yang paling dekat dengan
Soeharto. Untung dan Supardjo masih punya urusan lain yang penting.
Latief telah menjadi bawahan dari Soeharto waktu Jogya diduduki Belanda,
tahun 1949. Malahan, menurut keterangan Latief dalam eksepsinya, waktu
serangan ke Jogya pada tanggal 1 Maret 1949, dengan Jogya diduduki
pasukan Republik selama 6 jam, bukan Soeharto yang sebenarnya masuk
Jogya melainkan Latief sendiri! Waktu Latief pulang ke komandonya di
pegunungan bersama grupnya, Soeharto bersama ajudannya sedang makan
soto! Pada waktu komando Mandala yang dibawah komando Soeharto, Latief
menjadi kepala intellijen dari Komando di Makasar.
Dalam eksepsinya Latief dengan terang menjelaskan bahwa waktu ia bertemu
dengan Soeharto di rumah sakit, ia menceritakan padanya seluruh rencana
untuk malam itu. Ia minta pengadilan supaya Soeharto dan istrinya akan
dipanggil sebagai saksi. Putusan pengadilan: tidak, karena kesaksiannya
tak akan 'relevan'. Dalam pledoinya yang tertulis Latief mengulangi
lebih jelas lagi tentang pembicaraannya di rumah sakit. Dia menerangkan:
"Setelah saya lapor kepada Jenderal Soeharto mengenai Dewan Jenderal
dan lapor pula mengenai Gerakan, Jenderal Soeharto menyetujuinya dan
tidak pernah mengeluarkan perintah melarang" (hal. 128). Pledoi dan
Eksepsi Latief kami punya seluruhnya dalam bahasa Indonesia. Dalam pers
Indonesia segala keterangannya tentang pertemuan dengan Soeharto itu
sama sekali tidak diumumkan dan tidak diperhatikan.
Mengapa begitu? Untuk saya dari mulanya jelas bahwa keterangan yang
lebih sempurna lagi disimpan di suatu tempat DILUAR Indonesia, dengan
pesan supaya lantas diumumkan kalau Latief akan dibunuh! Soeharto
agaknya takut kalau kebenaran tentang pertemuan dengan Latief akan
diumumkan! Dalam otobiografinya ia bohong sekali lagi: ia menceritakan
bahwa ia bukan BERTEMU dengan Latief di rumah sakit, melainkan hanya
lihat dari ruangan di mana anaknya dirawat dan di mana ia berjaga
bersama Ibu Tien, bahwa Latief jalan di koridor melalui kamar itu! Siapa
sudi percaya? Juga aneh sekali bahwa Soeharto ,menurut keterangannya
sendiri, jam 12 malam waktu keluar dari rumah sakit, bukan terus mencoba
memberikan tanda berwaspada kepada jenderal-jenderal kawannya yang
dalam tempo tiga atau empat jam kemudian akan ditimpa nasib malang, m
elainkan terus pulang ke rumah untuk tidur! Hal yang menarik yaitu bahwa
Kolonel Latief beberapa waktu silam telah meminta pada Soeharto supaya
hukumannya dikurangi.
Dalam Far Eastern Economic Review dari 2 Agustus tahun ini (1990)
diberitahukan bahwa memoirenya disimpan di satu bank - entah di mana.
Jadi, telah agak tentu bahwa Soeharto terlibat dalam peristiwa 65 dengan
berat. Menurut fasal 4 dari Keputusan Kepala Kopkamtib bertanggal 18
Oktober tahun 1968, dalam Golongan A yang paling berat termasuk semua
orang yang terlibat dengan langsung, di antaranya dalam grup itu juga
segala orang yang mempunyai pengetahuan lebih dahulu terhadap rencana
kup dan yang lalui dalam melapor kepada yang berwajib. Jadi, Soeharto
pada malam itu seharusnya mesti melapor paling sedikit kepada Jenderal
Yani! Dan tentu juga kepada Jenderal Nasution. Artinya bahwa Soeharto
jauh lebih jelas 'terlibat' dalam peristiwa 1 Oktober '65 daripada semua
korbannya yang selama 10 tahun atau 14 tahun ditahan di penjara atau di
kamp konsentrasi seperti di pulau Buru, dengan alasan bahwa mereka
terlibat 'tidak langsung' dalam peristiwa G30S!
Jadi, sekarang telah jelas bahwa Soeharto terlibat oleh karena mempunyai
pengetahuan lebih dahulu. Lebih sukar membuktikan, bahwa ia juga aktip
dalam suatu PROVOKASI. Soeharto tentu bukan satu-satunya orang yang
punya pengetahuan lebih dahulu. Terang bahwa Kamaruzzaman (Sjam)
memainkan peran penting sekali dalam provokasi. Ia militer, agaknya
dalam Kodam V Jakarta.
Tetapi siapa atasannya yang mendorongnya untuk mempersiapkan kup bersama
tiga perwira tinggi itu, dengan maksud untuk memkompromitir baik PKI
maupun Soekarno? Sekarang saya akan coba memberi analisa yang sedikit
mendalam. Memang ada orang lain yang punya pengetahuan lebih dahulu.
Barangkali Soekarno sendiri punya sedikit pengetahuan lebih dahulu.
Tetapi tentu ia tidak ingin PEMBUNUHAN jenderal yang dituduhi membangun
Dewan Jenderal. Barangkali maksudnya hanya untuk menuntut
pertanggungjawaban mereka. Sesudah ia dengar bahwa ada beberapa jenderal
yang mati, ia memberi perintah supaya seluruh aksi itu berhenti.
Mungkin juga bahwa tiga perwira tinggi itu, Untung, Latief dan Supardjo,
bukan menghendaki pembunuhan, melainkan hanya menuntut
pertanggungjawaban mereka. Juga tidak jelas mengapa Aidit, ketua PKI,
dijemput dari rumahnya pada malam itu dan diantarkan ke Halim.
Rupanya pada saat itu ia punya kepercayaan kepada Sjam. Tetapi kami sama
sekali tidak tahu peranan Aidit sesudah ia disembunyikan di rumah
seorang bintara di Halim; menurut segala kesaksian ia tidak muncul dalam
perundingan- perundingan dan pertemuan-pertemuan , lagi pula tidak
bertemu dengan Presiden Soekarno yang juga dibawa ke Halim. Oleh karena
ia dibunuh tanpa proses, kami tidak punya keterangan dari dia sendiri -
kami hanya punya keterangan dari Sjam yang membohong seolah-olah semua
ia, Sjam, berbuat, terjadi atas perintah Aidit.
Misalnya dalam proses Latief di tahun 1978 Sjam 'mengaku' bahwa bukan
Latief, melainkan DIA yang memberi perintah untuk m embunuhi jenderal-
jenderal yang masih hidup waktu dibawa ke Lubang Buaya ¡V tetapi ia
tambah seolah- olah pembunuhan itu juga atas perintah Aidit. Jadi
seluruh perbuatan Sjam dimaksud untuk memburukkan nama PKI. Dan suatu
alasan mengapa Latief TIDAK dapat hukuman mati, ialah oleh karena ia
mungkir bahwa dia yang perintahkan membunuhi jenderal, dan Sjam dalam
proses itu mengakui bahwa ia sendiri yang memerintahkannya. Tetapi
segala 'jasanya' kepada grup Soeharto tidak berguna untuk dia pribadi:
beberapa tahun silam ia dieksekusi bersama pembantunya Pono dan Bono.
Agak jelas bahwa pada malam 30 September, dua-duanya, Soekarno dan Aidit
yakin bahwa Dewan Jenderal sebenarnya ada dan bahwa Dewan itu berencana
untuk merebut kekuasaan pada tanggal 5 Oktober 1965. Begitu juga grup
Untung, Latief dan Supardjo memang yakin bahwa Dewan Jenderal itu memang
ada. Dalam prosesnya dalam tahun 1967 Sudisman turut menjelaskan bahwa
ia masih yakin tentang eksistensi Dewan Jenderal itu dan rencana mereka.
Soeharto Dalang G30S?
Dalam tahun 1970 saya juga masih berpendapat bahwa Dewan Jenderal itu
benar ADA. Begitu juga pendapat PKI, misalnya dalam otokritik mereka.
Tetapi lama kelamaan saya mulai sangsikan apakah dewan itu benar ada dan
aktip dalam tahun 1965. Sudah tentu, kalu peristiwa 65 memang suatu
provokasi, bagaimana mungkin apa yang dimanakan Dewan Jenderal itu
menjadi dalangnya: terlalu aneh kalau orang mengorbankan diri sendiri
dengan tujuan politik! Apalagi telah ada cukup tanda bahwa Jenderal Yani
agak taat kepada Soekarno.
Pikiran saya berubah sewaktu saya baca sekali lagi keterangan bekas
Mayor Rudhito dalam proses Untung. Ia memberi suatu keterangan tentang
suatu pita yang ia dengar, dan catatan tentang isinya yang ia terima
pada tanggal 26 September 1965 dimuka gedung Front Nasional tentang
Dewan Jenderal. Ia terima bukti itu dari empat orang, yaitu: Muchlis
Bratanata, dan Nawawi Nasution, dua-dua dari N.U. dan Sumantri
Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang, dua-dua dari IPKI. Mereka itu
mengajak Rudhito akan membantu pelaksanaan rencana Dewan Jenderal. Di
tape itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu pertemuan yang diadakan
pada tanggal 21 September di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta.
Rudhito ingat bahwa ia dengar suara dari Jenderal Mayor S. Parman, satu
dari 6 jenderal yang lantas dibunuh pada tanggal 1 Oktober pagi . Parman
menyebut, menurut pita dan catatan yang Rudhito dengar dan baca, suatu
daftar orang yang harus diangkat sebagai menteri: di antara mereka juga
sejumlah jenderal yang lantas diserang dan diculik pada 1 Oktober.
Nasution disebut sebagai calon perdana menteri; Suprapto akan menjadi
menteri dalam negeri, Yani diusulkan sebagai menteri HANKAM, Harjono
menteri luar negeri, Sutojo menteri kehakiman dan Parman sendiri akan
menjadi jaksa agung. Ada juga nama lain yang disebut, diantaranya
Jenderal Sukendro.
Rupanya tape itu tidak ditunjukkan sebagai bahan bukti pada sidang
Obrus Untung; juga di sidang lain tidak muncul. Menurut Rudhito dan
terdakwa Untung tape itu juga diserahkan kepada Jenderal Supardjo, yang
pada tanggal 29 September baru tiba di Jakarta dari Kalimantan. Supardjo
rupanya terus memberikan dokumen itu pada Presiden Soekarno; dan
menurut Rudhito dukumen itu juga ada di tangan kejaksaan Agung dan
KOTRAR.
Kesimpulan saya: kemungkinan besar bawha tape (yang tidak pernah
muncul!) dan teks itu yang diberikan pada Rudhito, suatu pelancungan,
pemalsuan. Maksudnya dan akibatnya: ialah sehingga grup Untung, pimpinan
PKI dan Presiden Soekarno DIYAKINKAN DAN PERCAYA, bahwa komplotan Dewan
Jenderal yang telah seringkali disebut sebagai kabar angin, sebenarnya
ADA dengan rencana untuk merebut kekuasaan dari Soekarno dan kabinetnya.
Dengan tipu muslihat ini, yang sebenarnya suatu provokasi, baik Soekarno
maupun pimpinan PKI, termasuk Aidit, didorong supaya meneruskan
usahanya agar aksi Dewan Jenderal itu pada tanggal 5 Oktober 1965 dapat
dihalangi! Jadi sekarang timbul pertanyaan, golongan mana yang sebagai
dalang merencanakan seluruh provokasi itu, dengan mengorbankan jiwa enam
atau tujuh jenderal.
Untuk saya, pada saat ini, sulit memberi jawaban. Saya sudah
lanjut usia. Saya harap dalam ruangan ini barangkali orang Indonesia
dapat meneruskan penyelidikan itu untuk mencari jawaban atas pertanyaan
yang masih ada.
Tentu gampang menyangka bahwa rencana itu tercipta dikalangan militer
dan bahwa Kamaruzzaman- Sjam telah memainkan suatu peranan yang berarti
dalam hal ini. Sangat mungkin juga, bahwa beberapa perwira agak tinggi
dari angkatan udara, seperti BARANGKALI Obrus Heru Atmodjo, dan sudah
tentu Mayor Sujono - yang sebagai saksi dan sebagai terdakwa seringkali
memberi keterangan yang tidak masuk akal dan saling bertentangan -
pastilah sangat aktip dalam merencanakan seluruh aksi. Sujonolah yang
memperkenalkan Untung dan Latief dengan Sjam dan dua pembantuanya, Pono
dan Bono.
Juga ada kesaksian bahwa yang sebenarnya memberi perintah pada Gathut
Sukrisno untuk membunuh jenderal-jenderal dan kapten Tendean yang masih
hidup di Lubang Buaya, bukan Sjam melainkan Sujono. Begitu juga pendapat
Dr. Holtzappel yang telah menulis suatu nalisa penting tentang
peristiwa 1965 dalam "Journal of Contemporary Asia" pada tahun 1979.
Pembunuhan yang sengaja itu juga tentu merupakan bagian dari seluruh
provokasi terhadap PKI. Menurut Holtzappel, sebagai DALANG dalam
Angkatan Bersenjata barangkali harus dianggap Jenderal Sukendro, pernah
kepala military intelligence, dan kolonel Supardjo, Sekretaris KOTRAR
yang pernah menjadi pembantu dari Sukendro. Presiden Soekarno agaknya
sangat benar dalam analisa pendeknya, waktu ia membela diri dimuka MPRS
dengan keterangan tertulis 'Nawaksara' pada tanggal 10 Januari 1967
terhadap tuduhan-tuduhan. Kesimpulannya ialah: "1) keblingernya pimpinan
PKI, 2) kelihaian subversi Nekolim, dan 3) memang adanya oknum-oknum
yang tidak benar". Arti istilah Nekolim pada masa itu ialah:
Neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme.
Tentu maksudnya Soekarno bahwa ada dalang sebenarnya yang dari luar
negeri. Bagaimana dengan Amerika Serikat, dan CIA? Sudah dari awal tahun
50an A.S. campur tangan dengan politik Indonesia. Telah mulai dengan
Mutual Security Act dari tahun 1952, yang dahulu ditandatangani oleh
menteri luar negeri Subardjo dari kabinet-Sukiman, dan yang lantas
dibatalkan. Juga ada campurtangan AS sewaktu pemberontakan Dewan Banteng
dan Permesta, dan sesudahnya waktu didirikan PRRI, dalam tahun 57-58.
Peter Dale Scott, yang dulu menjadi diplomat dan sekarang guru besar di
Universitas California, menulis beberapa karangan penting tentang
campurtangan A.S. dalam tahun 60an: dahulu karangannya diumumkan dalam
tahun 1975, dan lantas di "Pacific Affairs" tahun 1985: "The U.S. and
the Overthrow of Soekarno". (Ada terjemahan dalam bahasa Bel anda yang
diterbitkan oleh Indonesia Media).
Dalam tahun 1990 ini seorang ahli sejarah yang saya tidak kenal namanya
Brands, menulis seolah-olah sejak permulaan tahun 65 U.S.A. sama sekali
tidak campur tangan lagi dalam politik Indonesia; beliau dengar ini dari
tokoh CIA - masa dapat dipercaya? Sekarang kita sudah tahu dengan pasti
bahwa dari awal Oktober 65 baik kedutaan A.S. maupun CIA sangat campur
tangan, misalnya dengan memberi daftar berisi nama 5000 tokoh PKI dan
organisasi kiri lain pada KOSTRAD - supaya mereka ditangkap; diplomat
dan staf CIA tidak perduli kalau korbannya juga akan dibunuh! Tetapi
bagaimana SEBELUM 1 Oktober? Ada suatu keterangan dari ahli sejarah
Amerika yang termasyur: Gabriel Kolko. Ia menulis dalam buku yang
diumumkan dalam tahun 1988 (yang judulnya "Confronting the Third: U.S.
Foreign Policy 1945-1980"), bahwa semua bahan dari ked utaan A.S. di
Jakarta dan dari State Department (yaitu kementerian Luar Negeri) untuk
tiga bulan SEBELUM 1 Oktober tahun 1965 sama sekali ditutup, dan tidak
boleh diselidiki oleh siapapun juga.
Dalam suatu keterangan yang ia tambah dari tanggal 13 Agustus 1990 ia
mengatakan bahwa ia tidak kenal suatu masa manapun juga di kurun 1945
sampai 1968 yang ditutup dengan rahasia yang demikian untuk
menyembunyikan informasi yang sungguh penting. Hal itu sangat aneh, dan
menimbulkan persangkaan bahwa ada kejadian yang sangat rahasia yang
harus ditutupi. Moga-moga penyelidikan yang sekarang akan dijalankan
oleh Congress di Washington tentang daftar yang dibuat sesudah 1 Oktober
1965 oleh suatu tokoh dari kedutaan A.S. di Jakarta, tuan Martens, akan
memberi kesempatan untuk anggota Congress supaya menuntut informasi
tentang periode tiga bulan itu, dan supaya arsip itu akan
'de-classified' , jadi akan dibuka untuk diselidiki oleh ahli
sejarah dan dunia keilmuan umumnya. Kolko juga memberitahu bahwa
Jenderal Sukendro pada tanggal 5 November 1965 minta pertolongan yang
tersembunyi dari A.S. untuk menerima pesenjataan kecil dan alat
komunikasi yang akan dipakai oleh pemuda Islam (ANSOR) dan nasionalis
bagi menghantem PKI. Kedutaan A.S. setuju akan mengirim barang-barang
itu yang disembunyikan sebagai obat-obatan (Kolko, hal. 181), dan teks
kawat-kawat dari Kedutaan A.S . ke Washington dari 5/11, 7/11, ... dan
11/11-65.
Tetapi kita harus insyaf bahwa selain dari CIA badan A.S. masih ada
badan intelijens negara lain yang 25 tahun yang silam mungkin
berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Soekarno: misalnya Pemerintah
Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam pertentangan antara
Indonesia dan negeri baru yang didirikan oleh Inggris: Malaysia. Dan
lagi negara Jepang mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon dalang
kejadian itu. Heran bahwa pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya ada SATU
surat kabar diluar negeri yang tahu siapa Jenderal Soeharto dan dapat
mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. Jepang lagi banyak mendapat
manfaat dalam kerjasama dengan Orde Baru. Mengapa masih penting
untuk menyelidiki sejarah peristiwa tahun 1965?
Saya akan baca pendapat saya yang baru ini saya umumkan dalam
pendahuluan saya untuk buku kecil yang berisi sajak dari Magusig O.
Bungai. Judul kumpulan sajak itu ialah "Sansana Anak Naga dan
Tahun-Tahun Pembunuhan". Dalam sajaknya Hutan pun bukan lagi di mana
rahasia bisa berlindung, Magusig O. Bungai menulis tentang pembunuhan
massal antas perintah Stalin: 50 tahun berlalu 50 tahun hutan Katyn
menutup rahasia 15.000 prajurit polan dimasakre di tengah rimba 50 tahun
kemudian waktu memaksa kekuasaan terkuat membuka suara menutur
kebenaran. Menurut saya penting sekali bahwa Magusig mendorong anak-anak
negerinya agar mencari kebenaran. Ahli sejarah Abdurahcman
Suriomihardjo dalam "Editor" 2 Juni 1990 menulis, bahwa "pembukaan
dokumen yang semula rahasia itu sangat membantu rekonstruksi sejarah".
Akan tetapi duduknya perkara masakre di Indonesia 25 tahun yang lalu
agak berlainan dari pembunuhan Katyn yang menimpa 15.000 orang perwira
Polandia. Kelainannya ialah oleh karena masakre di Indonesia itu pada
hakikatnya tidak ada rahasianya sama sekali. Pembunuhan massal di
Indonesia atas tanggung jawab Jenderal Soeharto bukanlah suatu rahasia.
Si penanggungjawab ini justru terus-menerus bangga akan perbuatannya.
Terhadap masakre benar-besaran dalam tahun-tahun pembunuhan sesudah
1965, Soeharto tidak pernah memperlihatkan penyesalannya atas
pelanggaran hak azasi manusia yang luar biasa itu. Sebaliknya, ia selalu
memamerkan dengan bangga tindakannya yang durjana itu. Tentang ini
telah terbukti sekali lagi baru-baru ini.
Dengan adanya pengakuan pers Amerika Serikat, bahwa staf kedubes Amerika
Serikat di Jakarta menyerahkan daftar nama-nama kader PKI dan ormas
yang dekat dengannya kepada Angkatan Darat Indonesia agar mereka itu
ditangkap dan dibunuh, tidak seorangpun juru bicara pemerintah Orde Baru
yang memungkiri telah terjadinya pembantaian massal, ataupun
mengucapkan penyesalan mereka terhadap peristiwa yang terjadi 25 tahun
yang lalu itu.
Mereka ini cukup berpuas diri dengan penegasan pengakuan: bahwa militer
Indonesia sama sekali tidak perlu menerima daftar tersebut dari pihak
asing, oleh karena mereka sendiri cukup mengetahui siapa-siapa
kader-kader PKI! Juga di dalam otobiografinya, Soeharto sama sekali
tidak menunjukkan tanda, bahwa ia menyesali terhadap jatuhnya korban
rakyat sebanyak setengah atau satu juta.
Justru sebaliknyalah, terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak
mencela perbuatan mereka. Misalnya dalam hal kolonel Jasir Hadibroto,
dalam "Kompas Minggu", 5 Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya
kepada Soeharto, yaitu bahwa ia telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa
keputusan pengadilan. Dengan jalan demikian Aidit tidak bisa membela
diri di depan sidang pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan
leluasa dapat menyiar- kan 'pengakuan' Aidit yang palsu. Kolonel ini
justru dihadiahi Soeharto dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung.
Dalam hal ini tentu saja Soeharto sendirilah yang bertanggung- jawab.
Karena pembunuhan itu hanya terjadi sesudah Jasir Hadibroto menerima
perintah dari Soeharto yang, menurut Jasir, mengatakan: "Bereskan itu
semua!".
Masih cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata seluruh rakyat
Indonesia. Sejarah peristiwa 1965 dan lanjutannya, seperti yang tertera
didalam tulisan resmi para pendukung Orde Baru, seluruhnya harus
ditinjau kembali dan dikoreksi. Misalnya tentang pembunuhan terhadap
para anggota PKI atau BTI (Barisan Tani Indonesia) yang selalu
dibenarkan dengan dalih, seakan- akan mereka dibunuh karena "terlibat
dalam Gestapu/PKI 1965". Barangkali benar, ada beberapa kader PKI yang
telah ikut memainkan peranan dalam peristiwa 1 Oktober 1965 itu. Tetapi
bisakah ratusan ribu kaum tani di Jawa dituduh terlibat dalam peristiwa
penyerangan terhadap 7 orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober 1965
saat itu di Jakarta? Dari berita "The Washington Post" 21 Mei 1990
menjadi jelas, bahwa sejak semula Soeharto telah berketetapan hati untuk
menghancur-leburkan PKI.
Dalih umum yang dikemukakan oleh Mahmilub atau pengadilan semacamnya
adalah bahwa semua anggota atau simpatisan PKI ' terlibat dalam
peristiwa G30S-PKI '. Dalih demikian pulalah yang dipakai pemerintah
untuk membenarkan pembuangan tanpa pemeriksaan pengadilan lebih dari
10.000 orang yang dipandang sebagai simpatisan gerakan kiri ke Pulau
Buru, yang pada umumnya selama 10 tahun lebih.
Mereka itu dianggap sebagai 'terlibat secara tidak langsung
dalam Gestapu/PKI' . Lalu, siapakah yang terlibat langsung? Yang
betul-betul terlibat LANGSUNG adalah seorang yang paling memperoleh
untung dari kejadian itu, tak lain tak bukan ialah Jenderal Soeharto
sendiri. Semua bahan-bahan itu tentu sangat penting untuk meninjau
kembali sejarah peristiwa 1 Oktober 1965. Ada beberapa hal lagi yang
perlu diterangkan.
Di tengah-tengah terjadinya pembantaian massal terhadap orang-orang yang
dianggap PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejumlah kader PKI yang
berhasil terluput dari malapetaka berhasil mendapatkan tempat berlindung
di daerah pegunungan di Kabupaten Blitar Selatan. Di sini mereka hidup
bersatu dengan kaum tani miskin setempat, sehingga untuk sementara
mereka berhasil membangun lubang perlindungan untuk menyelamatkan jiwa
mereka. Akan tetapi pada 1968 tentara dengan operasi Trisula
menghancurkan tempat perlindungan ini, dan menangkap serta membunuh
sebagian besar mereka itu.
Dalam tahun 70an 'tokoh-tokoh Blitar Selatan' ini dihadapkan ke muka pengadilan.
Di pengadilan umumnya mereka tidak dituduh ' terlibat persitiwa G30S/PKI '.
Jelas, bahwa pengadilan tidak bisa membuktikan 'keterlibatan' demikian.
Maka merekapun lalu dituduh sebagai 'subversi', yang sejak 1963 juga
bisa mengakibatkan jatuhnya hukuman mati bagi siterdakwa. Ini berarti,
bahwa pada hakikatnya mereka dituduh subversi untuk kebanyakan dijatuhi
hukuman mati, semata-mata karena mereka berusaha menyelamatkan diri dari
pembunuhan massal yang sama sekali haram itu. Rencana pembunuhan massal
ini ternyata akhirnya terbukti jelas oleh siaran pengakuan-pengakuan di
dalam pers Amerika Serikat tersebut di atas.
Tokoh-tokoh seperti Munir, Gatot Lestaryo, Rustomo dan Djoko Untung
tewas dieksekusi dalam tahun 1985. Tapi pada saat inipun masih ada empat
tokoh lagi, yang semuanya berasal dari peristiwa Blitar Selatan itu,
yang diancam oleh pelaksanaan eksekusi. Penting sekali bagi dunia luar
agar berusaha dengan segala daya untuk menyelamatkan jiwa Ruslan
Wijayasastra, Asep Suryaman, Iskandar Subekti dan Sukatno - dan lebih
dari itu untuk menyelamatkan jalannya kebenaran sejarah. Untuk ini
penelitian kembali sejarah tahun-tahun 1965 dan seterusnya merupakan
sarana dan wahana pertolongan satu-satunya. Ada sebuah kewajiban lagi
yang penting, yaitu meneliti kembali duduk perkara Gerwani di dalam
peristiwa 1 Oktober 1965.
Dari semula penguasa menuduh gadis-gadis Gerwani di Lubang Buaya berbuat
paling keji dan tak tahu malu. Melalui media pers bertahun-tahun
disiarkan, seolah-olah mereka dihadirkan di sana oleh PKI untuk
melakukan upacara 'harum bunga' sambil menari-nari lenso untuk mengantar
jiwa jenderal- jenderal itu, melakukan perbuatan-perbuatan tak senonoh,
dibagi-bagikan pisau silet, dan lantas ikut ambil bagian dalam perbuat
jahat serta menyiksa jenderal- jenderal itu sebelum mereka tewas.
Sebagai akibat dari cerita-cerita demikian terbentuklah bayangan,
seakan-akan Gerwani adalah perkumpulan perempuan lacur, jahat dan bengis
yang harus dihinakan dan bahkan dibinasakan.
Cerita-cerita demikian sebenarnya tidak terbukti. Tidak pernah ada suatu
proses, di mana dakwaan demikian bisa dibenarkan. Seorang saksi dalam
sidang yang, menurut Sudisman 'terbuka tapi tertutup' dan 'serba umum
tapi tidak umum', bernama Jamilah dan yang mereka gunakan sebagai dasar
bangunan dongengan itu, adalah soerang perempuan bayaran belaka.
Beberapa tahun yang lalu Profesor Benedict Anderson, di dalam majalan
ilmiah "Indonesia", memuat keterangan resmi dari lima dokter yang
memeriksa mayat-mayat para jenderal itu sesudah diangkat dari Lubang
Buaya. Jauh sebelum itu, keterangan resmi para dokter ini pun telah
diumumkan oleh Soekarno di depan sidang kabinet, sengaja untuk membantah
dongengan yang beredar saat itu, yang antara lain mengatakan bahwa mata
para jenderal itu telah dicungkil dan bahwa kemaluan mereka
dipotong-potong sebelum ditembak mati. Keterangan dokter-dokter resmi
itu ringkasnya mengatakan, bahwa tiddak ada tanda penyiksaan pada
korban, dan tidak sebiji matapun dicungkil sebelum mereka dibunuh.
Penting sekali membersihkan Gerwani dari tuduhan yang tidak adil itu.
Terutama sangat perlu, oleh karena sebelum 1965 Gerwani sangat aktif
dalam membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti diketahui,
sejak Orde Baru berkuasa semua perjuangan untuk kepentingan perempuan
melalui pergerakan yang bebas dan mandiri, dianggap oleh penguasa
sebagai kegiatan yang harus diharamkan dengan mengingat kepada
'perbuatan Gerwani' dalam akhir taun 1965 itu. Ada satu tuduhan lagi
yang harus dibantah. Dari sejak awal telah disiarkan cerita, bahwa
seolah-olah di rumah-rumah orang PKI terdapat (kecuali cungkil mata dan
kursi listrik) daftar nama-nama orang yang memusuhi komunisme, dan yang
harus dibinasakan sesudah PKI beroleh kemenangan dengan gerakannya di
akhir 1965 itu.
Tidak selembar daftar seperti itu bisa dipertunjukkan di
pengadilan manapun. Sekaranglah, sesudah adanya pengakuan pers Amerika
Serikat itu, kita ketahui bahwa sesungguhnya daftar orang-orang yuang
harus dibinasakan itu memang ada. Tetapi, inilah bedanya, daftar yang
ada justru bukan daftar bikinan komunis, melainkan daftar yang diberikan
oleh Kedubes Amerika Serikat kepada Soeharto yang memuat ribuan nama
komunis Indonesia yang harus dibunuh! Dongeng ini seperti dongeng
tentang maling yang teriak "Tangkap Maling!"
Penting sekali kesadaran dibangun kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI
merupakan kekuatan yang patut dibanggakan, oleh karena banyak hal yang
telah berhasil dicapai oleh partai dan gerakannya itu. Di dunia Barat
sekarang timbul kecenderungan anggapan, bahwa komunisme, dan bahkan
sosialisme, telah gagal sebagai ideologi.
Kesimpulan seperti ini salah sama sekali! Yang gagal adalah SEJUMLAH
PEMERINTAH yang dikuasai oleh berbagai partai komunis. Yang terbukti
gagal adalah, bahwa sistem diktatorial tanpa cukup peranan dari rakyat
bawah tidak bisa bertahan dalam jangka panjang. Jadi, untuk Indonesia,
kegagalan seperti itu hanya bisa berlaku bagi rezim Soeharto. Rezim
Soeharto pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem diktatorial, dengan
berbedak demokrasi yang semu belaka.
Tetapi sebaliknya, baik ideologi maupun praktek, komunis di Indonesia
sama sekali tidak mengalami kegagalan. Ia hanya ditimpa oleh malapetaka
dan penindasan secara perkosa, yang ditolong oleh kekuatan anti komunis
luar negeri. Tentu saja ada sementara tokoh komunis yang, dalam
menghadapi keadaan baru dan sangat sulit pada tahun-tahun 60an,
melakukan kesalahan penting. Dalam hal ini tentu saja sangat perlu
adanya otokritik yang mendalam. Tetapi cukup alasan bagi setiap penganut
ideologi kiri untuk mencamkan kata-kata penulis kumpulan puisi itu,
yaitu agar 'mulai menghargai harkat diri' dan memulihkan perasaan bangga
diri.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !