Bali
 adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga merupakan nama 
pulau terbesar yang menjadi bagian dari provinsi tersebut. Selain 
terdiri dari Pulau Bali, wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari 
pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya, yaitu Pulau Nusa Penida, 
Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Serangan.
Bali
 terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya 
ialah Denpasar yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas 
penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal 
sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya,
 khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia. Bali juga dikenal 
dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.
ASAL USUL SEJARAH PULAU BALI
MASA PRASEJARAH
Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang 
ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal 
tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk 
menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan
 pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya 
Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka 
bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat
 memenuhi segala harapan kita.
Berkat
 penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya 
bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa 
prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian terhadap kekunaan di Bali 
pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama Georg Eberhard 
Rumpf, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche Reteitkamer.
 Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J. 
Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang 
pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan 
beberapa catatan antara lain tentang nekara Pejeng, Trunyan, dan Pura 
Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh 
K.C Crucq tahun 1932 yang berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara 
Pejeng di Pura Desa Manuaba, Tegallalang.
Penelitian
 prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren dengan 
hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954. Pada tahun 
1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan 
penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun 1973, 1974,
 1984, 1985. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan 
terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi pantai Teluk 
Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs Gilimanuk merupakan sebuah 
perkampungan nelayan dari zaman perundagian di Bali. Di tempat ini 
sekarang berdiri sebuah museum.
Berdasarkan
 bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan 
masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi
 menjadi :
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
Masa bercocok tanam
Masa perundagian
MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN TINGKAT SEDERHANA
Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan 
penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan 
di Sambiran (Buleleng bagian timur), serta di tepi timur dan tenggara 
Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam, 
kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu yang dijumpai di 
kedua daerah tersebut kini disimpan di Museum Gedong Arca di Bedulu, 
Gianyar.
Kehidupan
 penduduk pada masa ini adalah sederhana sekali, sepenuhnya tergantung 
pada alam lingkungannya. Mereka hidup mengembara dari satu tempat 
ketempat lainnya (nomaden). Daerah-daerah yang dipilihnya ialah daerah 
yang mengandung persediaan makanan dan air yang cukup untuk menjamin 
kelangsungan hidupnya. Hidup berburu dilakukan oleh kelompok kecil dan 
hasilnya dibagi bersama. Tugas berburu dilakukan oleh kaum laki-laki, 
karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang cukup besar untuk menghadapi
 segala bahaya yang mungkin terjadi. Perempuan hanya bertugas untuk 
menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan makanan dari 
alam sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti apakah 
manusia pada masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur satu 
sama lainnya.
Walaupun
 bukti-bukti yang terdapat di Bali kurang lengkap, tetapi bukti-bukti 
yang ditemukan di Pacitan (Jawa Timur) dapatlah kiranya dijadikan 
pedoman. Para ahli memperkirakan bahwa alat-alat batu dari Pacitan yang 
sezaman dan mempunyai banyak persamaan dengan alat-alat batu dari 
Sembiran, dihasilkan oleh jenis manusia. Pithecanthropus erectus atau 
keturunannya. Kalau demikian mungkin juga alat-alat baru dari Sambiran 
dihasilkan oleh manusia jenis Pithecanthropus atau keturunannya.
MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN TINGKAT LANJUT
Pada masa ini corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih 
berpengaruh. Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam
 sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari batu,
 tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada 
masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding, 
Pecatu (Badung). Gua ini terletak di pegunungan gamping di Semenanjung 
Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah Gua Karang 
Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang
 pernah berlangsung disana. Dalam penggalian Gua Selonding ditemukan 
alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah 
alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa 
lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya 
diruncingkan.
Alat-alat
 semacam ini ditemukan pula di sejumlah gua Sulawesi Selatan pada 
tingkat perkembangan kebudayaan Toala dan terkenal pula di Australia 
Timur. Di luar Bali ditemukan lukisan dinding-dinding gua, yang 
menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada 
waktu itu. Lukisan-lukisan di dinding goa atau di dinding-dinding karang
 itu antara lain yang berupa cap-cap tangan, babi rusa, burung, manusia,
 perahu, lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya. Beberapa lukisan
 lainnya ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih kemudian dan 
artinya menjadi lebih terang juga di antaranya adalah lukisan kadal 
seperti yang terdapat di Pulau Seram dan Papua, mungkin mengandung arti 
kekuatan magis yang dianggap sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau 
kepala suku.



0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !